semut di hati Kinan
Hujan rintik bagai nyanyian sore; gemuruh terdengar merobek langit. Kinan berjalan menuju kamar kakaknya. Kebiasaan Kinan yang selalu membeli baju sesuai warna kesukaan membuat Kinan terpaksa meminjam baju kepada sang kakak. Di ranjang yang berukuran cukup lebar, muat dua hingga tiga orang, Santi tengah menonton film horor di laptopnya.
“Kak, aku boleh pinjam kaos warna kuning, nggak? Besok ada kegiatan hiking, semuanya disuruh pakai kaos warna kuning, dan aku nggak punya,” kata Kinan. Kinan berdiri di ambang pintu, bersandar pada daun pintu yang terbuka.
“Ada, tapi Kakak nggak mau minjemin sama kamu,” kata Santi tanpa menoleh ke arah Kinan sama sekali, seakan tontonannya di laptop lebih penting daripada permintaan adiknya sendiri.
“Ayolah, Kak, aku pinjem sehari aja, nanti pasti aku balikin kok,” Kinan masih berusaha meluluhkan hati kakaknya.
“Kalau kamu pinjam yang lain, Kakak kasih, Dek. Tapi kalau baju, bukan apa-apa, badan kamu itu loh, BB—bau badan—nanti yang ada baju Kakak malah bau lagi habis dipinjam kamu,” Santi mendelik, tak terlihat penyesalan di wajah Santi atas perkataannya. Serasa ada kerumunan semut yang merayap di hati Kinan mendengar perkataan sang kakak.
“Ayolah, Kak, kan bisa dicuci nanti, aku pakaiin pewangi deh,” ucap Kinan masih dengan bujukan.
“Mau kamu pakaiin pewangi sampai srengceng baunya tetap nggak bakal ilang. Udah deh, pinjem sama teman kamu aja sana, kamu kan banyak teman.”
Bukannya luluh dan meminjamkan baju pada Kinan, Santi justru mengusir sang adik dari kamarnya. Semut-semut yang merayap di hati Kinan memberi efek cekit-cekit yang perlahan-lahan menjadi rasa sakit.
“Emang harus ngomong kayak gitu, ya, Kak?!” teriak Kinan. Tak terasa bulir bening sudah membasahi pipinya, menimbulkan jejak-jejak basah.
“Loh, kan itu fakta!” suara Santi tak kalah tinggi, ia bahkan sudah merubah posisi tengkurapnya menjadi duduk di tepian ranjang. Suara film dari laptop tak lagi terdengar, kalah dengan suara perseteruan kakak beradik itu.
Bu Ajeng, sang ibu, datang. Pertengkaran kedua putrinya dari dalam rumah rupanya telah membuat Bu Ajeng meninggalkan aktivitas memotong sayuran di dapur.
“Eh eh eh, kenapa kalian ini sore-sore ribut?” pekik Bu Ajeng, lebih nyaring dari kedua putrinya.
“Kak Santi itu, Bu, Kinan mau pinjam baju aja nggak boleh!” adu Kinan, berharap mendapatkan pembelaan dari sang ibu.
“Santi nggak mau, Bu, pinjemin baju sama Kinan. Badan Kinan itu bau, Ibu tahu sendiri kan baunya nggak hilang walaupun udah pakai pewangi,” ucapnya dengan ekspresi penuh keengganan.
“Ya udahlah, Kinan, kalau kakakmu nggak mau pinjemin. Jangan dipaksa, lagian ngapain sih nangis-nangis? Yang kakak kamu bilang itu kan fakta, kamu tuh emang bau badan!”
Kinan tersinggungan banget sih. Ada apa dengan hatimu? Kini petir seakan bukan hanya sedang merobek langit tapi juga merobek hati seorang Kinan. Dia berlari keluar rumah, entah untuk meminjam baju kepada temannya atau hanya sekedar menenangkan diri.
Apa yang terjadi sore ini memanglah bukan satu-satunya hal yang menghancurkan perasaan Kinan. Ibu dan kakaknya memang sering berkata-kata kasar, bahkan pernah suatu saat Kinan menyucikan baju ibunya tapi justru dimarahi habis-habisan dan disalahkan hanya karena baju itu kelunturan. Namun Kinan bisa apa selain menangis?
Pernah suatu kali ia mencoba menyuarakan pendapatnya atau membela diri ketika disalahkan dan di setiap itu pulalah Kinan dikatain tukang mendebat.
Bersyukur Kinan masih punya alasan untuk kuat, yakni saat sekolah dan bertemu teman-temannya, sayang semangatnya kembali melorot ketika membaca pesan dari ketiga temannya bahwa mereka sama-sama tidak masuk kelas hari ini dikarenakan alasan yang berbeda-beda: Diana yang sedang demam, Ayu yang sedang sakit gigi, Rachel yang harus menghadiri wisuda kakaknya.
Kinan menghela nafas membayangkan harinya di sekolah akan terasa sangat membosankan tanpa ketiga temannya. Kinan melangkah memasuki lapangan. Suasana sekolah sangat ramai, ada beberapa mobil petugas kesehatan yang terparkir karena hari ini memang ada penyuluhan jurusan kedokteran untuk anak kelas 12. Tapi keriuhan itu sekejap berubah saat jam pertama dimulai, terlebih lagi ketika Kinan diminta untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, yakni berpidato di depan kelas.
Suasana kelas begitu hening. Tak ada suara apapun termasuk suara yang keluar dari bibir Kinan. Gadis itu bergetar hebat, tatapannya liar bergerak ke sana kemari menunjukkan keresahan dalam hatinya. Ibu Bimbim menghentak meja kayu dengan penggaris.
“Ayo mulai pidatonya!” ucapnya dengan tegas. Tubuh Kinan semakin bergetar, ia berusaha memaksakan dirinya untuk berbicara. Dadanya bergemuruh, seakan jantungnya memompa darah dengan begitu kencang.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
“Nama saya Kinan Adella. Saya akan membawakan pidato: ‘Remaja Jomblo Itu Keren’,” kalimat itu keluar dari mulut Kinan dengan terbata-bata.
Suaranya bergetar hebat, debaran jantung yang begitu kencang memang mampu membuat tenggorokan Kinan terasa tercekat.
“Aduh, ini mau pidato atau bisik-bisik sih? Teman-teman, kalian bisa dengar nggak apa yang Kinan ucapin?” Stella, sang miss gosip di kelas, menyela.
“Suaranya kayak kebawa angin, ya! Suaranya kayak orang lagi dibonceng ilang-ilangan!” Siswa dan siswi lain mendukung pernyataan Stella.
Kinan menatap Stella. Gadis itu membalas tatapan Kinan dengan wajah sinis. Keringat semakin mengucur deras di tubuh Kinan, bahkan kedua telapak tangannya sudah basah. Gadis itu benar-benar gugup saat ini.
“Kinan, ayo dicoba lagi, ya,” ucap Ibu Bimbim kali ini suaranya terdengar lebih sabar mencoba memahami kegugupan Kinan.
Gadis itu kembali mencoba, tapi hasilnya tetap sama: hanya suara bergetar yang dipenuhi dengan kegugupan yang mampu keluar dari bibirnya.
Hingga akhirnya, sang guru memperbolehkan Kinan untuk kembali ke bangku.
Stella meniru gaya Kinan saat berpidato, lengkap dengan ekspresi gugup dan suara bergetar, kemudian diakhiri tawa. Sejak jam istirahat dimulai, memang hampir sebagian siswa dan siswi terus meledek Kinan.
Malu dan sedih bercampur aduk di benak Kinan, dia berlari keluar dari kelas. Tangisannya pecah di bangku taman sebelah utara sekolah.
Bahu yang berguncang karena tangisan itu dilihat oleh salah seorang dokter yang baru selesai melakukan kegiatan penyuluhan di salah satu ruangan kelas 12 IPA.
Namanya Aldi, seorang pria keturunan Medan yang sekarang menetap di Jakarta karena profesinya.
Lelaki yang memiliki kulit putih dan perawakan tinggi itu menyodorkan sapu tangan kepada Kinan. Kinan ragu untuk mengambilnya, namun Aldi meyakinkan.
“Aku gugup waktu disuruh pidato di depan kelas, semua anak-anak ngeledek aku,” ucap Kinan, ia sudah tak perduli lagi jika si dokter muda juga akan mengata-ngatainya seperti yang lain.
“Itu pasti menyakitkan, saya percaya, tidak ada asap jika tidak ada api,” Kinan menoleh pada dokter Aldi, pertanda mulai tertarik dengan ucapan sang dokter muda.
“Tapi kamu juga harus ingat, api itu fungsinya banyak, hasilkan sesuatu dari api itu! mungkin makanan atau minuman, maka kamu akan teralihkan dengan asapnya,” ucap Dokter. Tamat.
Marisda elsawati, bandung: 23-05-2025.
Komentar
Posting Komentar
Hai guys! Gimana pengalaman membaca kalian? Yuk, sharing di kolom komentar dengan bahasa yang membangun yaa. Masukkan saran hingga dukungan dari kalian; membantu aku menghasilkan tulisan lebih baik lagi.