amanah di ujung maut
Siapa yang tidak mengenal jalan Pantura? Aku yakin nama jalan Pantura sudah tak asing di telinga kita. Jalanan yang setiap menjelang mudik lebaran menjadi lokasi yang sering dituju oleh wartawan untuk kemudian keadaannya dikabarkan ke acara televisi nasional.
Namun, jalan Pantura bukan hanya terkenal dengan kemacetan di saat mudik saja, karena kecelakaan maut pun tak jarang acap terjadi dan menelan korban.
Di pinggir jalan, Pak Danu yang tengah duduk bersama Pak Mulyadi, seorang pedagang kaki lima, dikejutkan dengan kecelakaan yang terjadi di depan mata mereka. Kecelakaan itu melibatkan sebuah mobil minibus dan truk gandengan. Jalanan di tempat itu yang berkelok membuat sopir minibus yang tengah melajukan mobil dengan kecepatan tinggi kehilangan kendali. Mobil itu menabrak truk gandengan dari arah belakang hingga terseret beberapa meter dan menabrak trotoar pembatas jalan.
"Duauarrr!" Hantaman yang begitu keras menimbulkan suara dentuman yang hebat. Kaki Pak Danu dan Pak Mulyadi bergetar menyaksikan peristiwa naas yang dialami oleh mobil minibus dan truk tronton. "Astaghfirullahaladzim," gumam Pak Danu dan Pak Mulyadi. Keduanya lantas berlari menghampiri mobil minibus yang rusaknya lebih parah dari truk. Dengan dibantu beberapa pengendara yang menghentikan laju kendaraan mereka, Pak Danu dan Pak Mulyadi membawa korban kecelakaan ke Puskesmas yang jaraknya tak jauh dari warung kelontong Pak Mulyadi.
"Biar saya panggilkan petugas Puskesmasnya," pekik Pak Danu dengan panik, ia berlari terburu-buru ke arah komplek yang terletak di belakang Puskesmas.
Bulu kuduk Pak Danu meremang ketika hendak melintas di depan ambulans yang terparkir di garasi Puskesmas. Suasana jalanan yang gelap dan sepi membuat lelaki yang bekerja di kelurahan desa ini semakin ketakutan. "Tin tin," terdengar suara klakson dari ambulans. Pak Danu melonjak kaget karena ambulans itu berbunyi sendiri! Bahkan lampu bagian depannya pun menyala, seperti ada yang menghidupkan. Padahal, jelas tidak ada siapa-siapa di sana.
Pak Danu lari ngacir ke arah rumah pak bang-bang. Meskipun sangat penasaran ingin menoleh ke arah ambulans, rasa kemanusiaannya saat ini jauh lebih penting daripada rasa penasarannya.
"Assalamualaikum Pak Bambang, Ada yang kecelakaan, Pak!" Danu menggedor-gedor pintu rumah Pak Bambang dengan kencang. Ya, Pak Bambang adalah petugas Puskesmas yang biasa menangani apabila ada kecelakaan. Pak Bambang juga bisa dipanggil meskipun jam kerja Puskesmas sudah selesai.
"Innalillahi, dimana Pak Danu?" Pak Bambang menyembul dari pintu yang terbuka. Terlihat jika pria itu tengah mengunyah makanan. Mungkin di dalam rumahnya, Pak Bambang sedang makan malam bersama keluarga.
"Di dekat warungnya Pak Mulyadi, Pak. Ayo Pak, cepat kita ke Puskesmas. Korbannya cukup banyak," ujar Pak Danu dengan napas tersengal-sengal.
Dengan berpamitan pada sang istri terlebih dahulu, Pak Bambang dan Pak Danu pun berlari tergesa-gesa ke arah Puskesmas.
hawa merinding kembali dirasakan Pak Danu ketika harus melewati ambulans Puskesmas. Pasalnya, Pak Bambang sudah berlari kencang meninggalkannya. Sedetik saja waktu memang terasa sangat berharga dalam situasi ini, terlebih lagi karena ini menyangkut nyawa.
Entah mengapa, semakin dekat dengan ambulans, kakinya terasa lemas. Langkahnya memberat, hingga Pak Danu yang semula berlari hanya bisa berjalan perlahan, seolah ada sesuatu yang menahan langkahnya. Rasanya sangat berat, hingga ia harus menyeret setiap langkahnya.
“Astaghfirullahaladzim, kenapa ini?” Pak Danu menatap jalanan di depannya. Jalanan yang sebelumnya terang karena lampu dari mobil ambulans kini gelap gulita, karena ambulans itu tak menyala seperti tadi. Namun, ketika Pak Danu semakin dekat, tiba-tiba "tin tin" klakson ambulans itu kembali berbunyi. Sorot lampu dari ambulans menembus gelapnya malam.
Rasa penasarannya sudah tak dapat ditahan. Ia menoleh ke arah mobil ambulans yang lampunya menyala terang. Dari kaca depan, terlihat di dalam ambulans dua mahluk pocong duduk bersebelahan di bangku kemudi. Pocong yang duduk di balik setir bergoyang ke kanan dan ke kiri, wajahnya menyeringai. Sedangkan pocong yang sebelahnya bergerak ke atas dan ke bawah, bola matanya keluar dari tempatnya.
“PO...POCONG!” teriak Pak Danu. Ia berlari kencang, karena sesuatu yang memberatkan kakinya sudah tak terasa lagi.
Sesampainya di Puskesmas, Pak Bambang langsung bersiap dengan peralatan medis untuk menangani para korban. Namun, karena Pak Bambang hanya seorang diri sedangkan korban kecelakaan banyak, membuat Pak Bambang kewalahan. Alhasil, ada beberapa korban yang belum sempat mendapatkan penanganan. Pak Bambang sudah mencoba menghubungi rekan kerjanya, namun karena tempat tinggalnya yang jauh dari Puskesmas membuat rekan kerjanya tidak bisa datang secepat yang diharapkan.
Pak Danu yang tidak tahu harus membantu apa karena ia sama sekali tidak punya pengetahuan di bidang medis, sedari tadi hanya berdiri di pinggir pintu menyaksikan Pak Bambang menangani para korban sekaligus mendengar isakan dan juga rintihan mereka. Luka-luka mereka memang sangat parah. Aroma di ruangan itu pun sangat dominan dengan bau amis darah.
"Pak, tolong..." rintih seorang perempuan kisaran umur 35 tahun. Pak Danu yang mendengarnya lantas berjalan menghampiri ranjangnya. Hatinya miris menatap seorang wanita yang tergeletak di atas ranjang Puskesmas dengan kondisi leher yang berlumuran darah sampai ke bajunya.
"Iya, Bu. Ibu perlu apa?" tanya Pak Danu. Suaranya bergetar, namun sebisa mungkin mencoba menguatkan dirinya. Siapa tahu wanita di depannya butuh sesuatu.
"Pak, saya mau minta tolong... di balik baju saya ada dompet berisi uang. Kalau keluarga saya datang ke sini, tolong sampaikan ini ke mereka. Karena ini hasil kerja saya," ujar wanita itu. Suaranya terdengar parau dan tersendat-sendat, seakan setiap penggalan kata yang terucap dari bibirnya sangatlah sulit untuk keluar.
"Baik, Bu. Nanti saya sampaikan pesan dari Ibu," kata Pak Danu. Dan setelahnya, kepala wanita itu yang semula menghadap ke depan, menengadah ke samping dengan kondisi yang hanya menempel separuh alias hampir putus.
"Astaghfirullahaladzim..." Pak Danu mundur beberapa langkah sembari mengelus dada. Sungguh, logikanya tak mampu menembus apa yang dilihatnya. Bagaimana bisa sedetik yang lalu wanita itu berkata dan menyampaikan suatu amanah sedangkan kondisinya sangatlah mengenaskan? Rupanya lehernya bukan hanya luka biasa, tetapi benar-benar hampir putus.
"Tiga jam kemudian, satu persatu anggota keluarga dari para korban mulai berdatangan. Pak Danu menyampaikan amanah dari perempuan tadi pada pihak keluarga. Ibu perempuan tadi mencoba memberikan beberapa lembar uang merah kepada Pak Danu atas kejujurannya dalam menyampaikan amanah, namun Pak Danu menolaknya. Pak Danu teringat detik-detik sebelum wanita tadi menghembuskan nafas terakhir. Pasti uang itu sangat berharga untuk keluarga si perempuan. Pak Danu bisa saja mengambil uang tersebut dan tidak menyampaikan amanah. Namun, apa yang di dapatkan di dunia pada akhirnya pasti akan di tinggalkan. Hanya amal yang akan di bawa. Hal itulah yang melandasi Pak Danu untuk menyampaikan amanah dan berkata jujur.
marisda Elsawati, bandung: kamis 7 November 2024.
Komentar
Posting Komentar
Hai guys! Gimana pengalaman membaca kalian? Yuk, sharing di kolom komentar dengan bahasa yang membangun yaa. Masukkan saran hingga dukungan dari kalian; membantu aku menghasilkan tulisan lebih baik lagi.