jejakmu dalam karya
Pernahkah kamu merasa kecil dalam bidang yang menjadi hobimu? Jika pernah, apakah rasanya seperti Tasya? Hampa, namun belum ingin menyerah? Tok tok tok. “Permisi, Kak. Maaf, saya telat,” Tasya menunduk sejenak. Ia masih memegang teguh bahasa etika, meskipun itu hal-hal kecil. “Lewat 1 menit, masih saya maafkan. Gabung sama yang lain.” Seorang lelaki muda, yang memakai gelang tiga pilin di tangannya, melempar pandang ke arah jam tangan dan Tasya secara bergantian. Kak Mario, begitu beliau dikenal, seorang novelis muda berbakat yang sudah memiliki banyak karya sekaligus murid-murid didikannya. Tasya adalah salah satu murid Kak Mario di School Garuda Literasi, sebuah sekolah menulis untuk para peminat sastra, baik yang sudah berpengalaman maupun pemula.
Materi dialog, tag beres. Baca lagi supaya dialog kalian bervariasi. “Nggak cuma itu-itu aja!” jawabku. “Ujarku, yang kalian pakai.” Semua murid mengangguk, membaca kembali materi yang sudah ditulis di buku masing-masing. “Silakan, kalau ada yang ingin bertanya,” ucap Kak Mario, dengan tatapan tegas. Semua murid didikannya diam; tak ada yang berani mengangkat tangan. “Jika tidak ada yang bertanya, saya anggap kalian sudah paham. Buat cerpen dengan dialog tag yang sudah kita pelajari,” ucapnya, menutup kelas sore itu.
Hembusan dingin dari kipas angin sedikit menyejukkan kepala Tasya yang sedari tadi merangkai kata untuk tugas cerpennya. Tasya mengirim cerpen karyanya ke nomor sang mentor. Sip, tinggal tunggu penilaian dari Kak Mario. Tasya merenggangkan tangannya. Baru beberapa saat, ponselnya berdering. Nomor Kak Mario terpampang di sana. Mata Tasya membulat. Membaca balasan dari mentornya, “Perasaan saya belum suruh ngumpulin,” satu kalimat itu membuat Tasya garuk-garuk kepala. “Perasaan tadi gue baca di grup, suruh dikumpulin?” gumamnya bingung. “Maaf, Kak. Saya gagal fokus. Saya kira harus dikumpulkan. Hehehe.” Hanya itu balasan yang terpikirkan. Sudah centang dua, tapi belum berubah biru. Tasya membenamkan wajahnya di bantal. Ia bertekad, esok hari harus lebih baik; setidaknya, lebih fokus.
Malam begitu cepat berganti dengan siang. Di kelas School Garuda Literasi, situasi nampak sama seperti biasanya: semua anak didik fokus memperhatikan materi yang diberikan. “Ada yang mau ditanyakan?” tanya Kak Mario. Namun, tak ada satu pun suara yang menjawab. “Saya males dicuekin! Nanti, giliran udah ujian aja pada sibuk nanyain materi lama,” ucapnya lagi, lalu meletakkan buku materi di atas meja. Dalam keheningan kelas, Tasya mengangkat tangannya. “Kak, Tasya mau tanya. Kalau cerpen yang kita tulis jatuhnya malah jadi panjang banget, kira-kira letak salahnya di mana ya, Kak?” Kak Mario menatap Tasya sekilas. “Kesalahannya ada di kamu. Kenapa bikin kalimat yang bertele-tele dan nggak efektif?”
Jawaban yang memang fakta itu membuat Tasya merasa sedikit down. Berhari-hari ia memikirkan jawaban mentornya, dan berulang kali ia juga setuju: Kesalahan ada pada dirinya; menggunakan kalimat yang tidak efektif dan bertele-tele hingga hasil cerpen menjadi panjang.
School Garuda Literasi, yang dipimpin Kak Mario, mendidik murid-muridnya menjadi calon novelis sejati. Kini mereka tengah mengerjakan proyek karya solo sebelum kelas kloter berikutnya dibuka. Setiap kelas mengerjakan proyek karya solo masing-masing, sesuai bidang sastra yang dipilih. Tasya, yang tergabung dalam kelas novelas, mendapatkan tugas membuat karya solo berupa kumpulan cerpen. Setiap anak didik diminta membuat cover dan judul yang menarik. Andien dan Tiara mendapat pujian karena berhasil membuat cover dan judul yang menarik. Namun, atmosfer kelas berubah ketika seorang murid bernama Panji menyerahkan tugasnya. “Ganti?” ucap Kak Mario singkat, seraya menyerahkan kembali lembaran kertas tugas kepada Panji. “Maaf, Kak. Kenapa ya?” Panji bertanya dengan nada sedikit frustasi. “Tanya saja teman-temanmu yang sudah berhasil. Mereka bisa membuat judul yang menarik, walau itu kumpulan cerpen. Dan ini… entah yang keberapa kalinya kamu ganti nama pena. Jangan pikir saya tidak ingat. Saya hafal semua kebiasaan anak murid saya, termasuk yang suka gonta-ganti nama pena,” ucap Kak Mario tegas. Tasya, yang mendengarnya, merasa lega dan takut. Lega karena tugasnya tidak dikritik, tetapi takut membayangkan jika ia berada di posisi Panji. “Baik,” ucap Panji, “terima kasih atas masukannya.” Panji mengambil kembali kertas tugasnya lalu duduk.
Karena semua materi telah selesai, kelas diliburkan, dan anak didik diminta mengumpulkan proyek karya solonya ke grup WA. Jantung Tasya berdebar saat membuka grup WA School Garuda Literasi; di sana sudah ada beberapa teman kelasnya yang telah mengumpulkan bab pertama karya solo mereka dan mendapatkan penilaian dari Kak Mario. Beberapa mendapat pujian dan komentar positif; namun, sebagian besar, termasuk Tasya, menerima komentar yang kurang memuaskan. "Tidak menarik," komentar Kak Mario pada cerpen karya Tasya. Semangatnya langsung merosot. "Kok nggak dijelaskan sih, kekurangan dari tulisan gue? Apa karena idenya atau teknik menulisnya?" keluh Tasya yang hanya bisa didengar dirinya sendiri. Tasya berguling-guling di kasur; ia frustasi. Hobi yang biasanya membahagiakan, kini terasa seperti kewajiban untuk memenuhi ekspektasi orang lain—ekspektasi yang bahkan Tasya sendiri tak tahu persis. Malam itu Tasya tertidur dalam dekapan selimut.
Cahaya matahari menyelinap masuk ke dalam kamar Tasya. Ckrek! Nada, kakak perempuan Tasya yang terpaut tiga tahun lebih tua darinya, melempar selembar kertas ke wajah Tasya. "Selamat! Kamu terpilih sebagai pemandu acara literasi di channel Pena Berkarya!" Mata Tasya membelalak membaca tulisan pada kertas. "Apa nih Kak? Aku nggak pernah daftar." "emang, kan Kakak yang daftarin?" Nada menjawab dengan santai, "Kalau Kakak tanya kamu dulu, ribet, Dek. Kamu bisa mikir setahun." "tapi nggak daftarin tanpa persetujuan aku juga lah Kak!" Tasya bangkit, meraih ponselnya, lalu melempar kertas itu ke ranjang, dan meninggalkan sang kakak. Rasa kesal pada kakaknya membuat Tasya butuh menyendiri di kolam renang.
Ting! Notifikasi di ponsel Tasya berdering. sebuah Pesan masuk dari grup WA, yang ternyata dari Kak Mario: "Saya sedang sakit. Mohon doanya. Tetap kerjakan tugas karya solo kalian dan kumpulkan ke grup ini; walau tanpa penilaian dari saya." Tasya memutar-mutar ponselnya; kini ia mengkhawatirkan keadaan sang mentor. "Apa gue jalanin aja kerjaan jadi pemandu program Pena Berkarya. Siapa tahu bisa buat Kak Mario ngeliat karya gue." Tasya berdiri, mencari Nada, tetapi tak menemukan keberadaan Nada di manapun. Ia hanya menemukan selembar kertas di meja ruang tamu: "Maafin Kakak, Dek. Udah ngambil keputusan tanpa izin. Kakak OTW ke gedung TV, supaya kamu gak perlu mandu program itu." "Aduh, kenapa sih Kak Nada ini gegabah banget..." Tasya menepuk jidatnya, ia mondar-mandir, lalu berlari ke motornya, Ia harus menyusul Nada secepatnya.
Sesampainya di depan gedung TV, Tasya berlari mengejar Nada yang sudah hampir memasuki pintu utama gedung. Syukurlah, kakaknya itu belum sempat membatalkan semuanya pada orang TV. “Kak Nada!” Tasya mencekal tangan Nada. “Loh, kamu nyusul Kakak?” Nada menoleh, ia melihat napas Tasya yang tersengal-sengal karena berlari. “Kak, aku berubah pikiran. Aku mau jadi pemandu program itu,” ucap Tasya, "Kamu yakin?” ucap Nada memastikan, "suer Kak," Tasya—mengangkat dua jarinya, menandakan keseriusan. "jadi, nggak bakal nyalah-nyalahin Kakak lagi karena udah bertindak gegabah,” ucap Nada kembali memastikan. “Apa yang Kakak lakuin, pasti itu baik buat aku." Tasya tersenyum; ia memeluk kakak kesayangannya. Karena memang mereka hanya dua bersaudara saja.
Dua bulan telah berlalu semenjak kejadian itu. Tasya memandu programnya dengan baik, meskipun semangatnya dalam menulis cerpen dan novel sedang surut, sehingga Tasya tidak mampu menyelesaikan tugas karya solonya. Tapi, Tasya tidak menyerah dari dunia literasi; ia mengikuti kelas quotes dan puisi di tempat lain. “tas! Mau ke mana?” Tasya terkejut mendapati teman sekelasnya di School Garuda Literasi berada di gedung TV yang sama. “Eh, itu gue. Ada kerjaan di sini. Lo sendiri ngapain di sini?” tanya Tasya kepada Panji. “Gue juga kerja di sini,” jawabnya. Tiba-tiba, ponsel mereka berdua berdering di saat yang bersamaan. Mereka mengeceknya, dan ternyata itu adalah notifikasi dari grup yang mengabarkan bahwa mentor mereka, Kak Mario, telah berpulang ke Rahmatullah pukul 01.00 dini hari. “Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap mereka serempak.
Kepergian Kak Mario meninggalkan luka yang begitu mendalam bagi Tasya. Ia tidak bisa melupakan interaksinya dengan Kak Mario yang di balik ketegasannya, menyimpan kepedulian agar anak didiknya berhasil. Bahkan, kenangan saat awal mengenal Kak Mario, berputar di ingatannya. Tasya semakin terpukul mengingat betapa baiknya sang mentor yang pernah membantunya untuk mengedit quotes menggunakan foto dan templet. Luka mendalam itu dirasakan oleh anak didik yang lain. Foto almarhum dipajang di dinding kelas. Tasya menatap sendu foto itu, kemudian ia menempelkan sebuah sertifikat kejuaraan quotes yang bertuliskan namanya. Beberapa bulan terakhir ini, kabar baik di bidang literasi memang terus menghampiri Tasya: mulai dari meraih juara 3 lomba cerpen, meraih juara 2 lomba cerpen genre horor, hingga meraih juara 2 lomba quotes. “Makasih, ya, Kak. Sudah didik aku. Makasih buat semua ilmu yang sudah Kakak bagikan. Semoga semua itu menjadi saksi kebaikan Kakak. Amin.” Tamat.
Marisdaelsawati,bandung: Senin, 19-05-2025
Komentar
Posting Komentar
Hai guys! Gimana pengalaman membaca kalian? Yuk, sharing di kolom komentar dengan bahasa yang membangun yaa. Masukkan saran hingga dukungan dari kalian; membantu aku menghasilkan tulisan lebih baik lagi.