Ketika emosi mendahului logika


Hujan malam itu membawa pesan yang hanya bisa dibaca mereka yang sedang kehilangan. Alya, gadis usia 15 tahun, duduk meringkuk di bawah kolong jembatan. Hujan turun begitu lebat, memeluknya dalam kedinginan yang nyata. Di antara suara hujan yang cukup kencang, Alya berusaha memfokuskan pendengarannya, memastikan tak ada suara langkah kaki yang mendekat. Pasalnya, saat keluar dari rumah, gadis itu baru tersadar jika langkah kakinya diikuti oleh seorang pria bertubuh tinggi tegap dengan baju serba hitam dan memakai slayer yang menutupi sebagian wajahnya.

beberapa saat yang lalu , alya berusaha menelusuri jalanan secara acak, berbelok ke ganggang sempit guna memastikan apakah benar lelaki dengan pakaian serba hitam itu mengikutinya. Dan setiap langkah yang diambil oleh Alya, sudut matanya selalu menangkap sosok lelaki berpakaian serba hitam itu. Alya takut. Ia berlari tak tentu arah. Seluruh bajunya kini sudah basah, tapi ia tak tahu harus ke mana. Karena kini Alya sudah berada jauh dari tempat yang sebelumnya ia tuju, yakni rumah Niken, sahabatnya.

"Aku benci sama Mama sama Papa. Kenapa Mama sama Papa ngelakuin ini sama aku? Kenapa mereka ingin bercerai? Mama sama Papa gak mikirin perasaan aku. Aku nggak mau jadi anak broken home," Alya terus berlari menerobos hujan yang mencekam. Karena tak banyak lampu menyala di sepanjang jalan, hanya ada beberapa lampu temaram di sudut-sudut toko yang sudah tutup. Jalanan itu pun nampak sepi. Tujuannya untuk pergi ke rumah Niken mengadukan kepedihan hidupnya, buyar bersama dengan sosok berpakaian serba hitam yang mengikutinya. dan di sinilah Alya berada, di bawah kolong jembatan, untuk bersembunyi dari sosok yang diduganya adalah orang jahat.

"Gadis cantik, jangan takut. Keluarlah. Aku tidak akan menyakitimu. Justru aku akan memberi kehangatan. Bukankah di sini hujan? Apakah kau tidak kedinginan?"

Suara bariton seorang pria membuat Alya semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil, namun tak ada waktu untuk sekedar merutuki tindakannya. Alya bangkit dan berjalan mundur dengan perlahan, berharap lelaki itu tak menemukan tempat persembunyiannya.

Puk! Tepukan tangan besar mendarat di bahu Alya. "Hahaha, ketemu," ujar seorang pria di belakang Alya.

"Aaaa!" Alya menjerit histeris. Kedua tangannya menutupi wajah imutnya, tak berani membayangkan apapun yang akan terjadi setelah ini."Sudah, Anton, jangan menakuti putriku," suara Daniel membuat Alya mengerjapkan matanya. Apakah benar itu suara ayahnya, ataukah ini hanya halusinasi karena dirinya yang terlalu ketakutan dan berharap ayahnya datang menyelamatkan?

"Sayang, kenapa kamu pergi gitu aja tadi dari rumah?" Belaian tangan Jasmine membuat Alya sadar jika ini benar-benar kedua orang tuanya dan bukanlah fatamorgana atau ilusi yang tercipta dari ketakutan berlebih.

Alya menghela napas lega melihat kedua orang tuanya dan seorang pria berbaju hitam yang tadi mengikutinya. Tapi bayangan akan pertengkaran kedua orang tuanya yang tadi Alya lihat kembali terlintas.

"Mama sama Papa jahat! Kenapa Mama sama Papa mau bercerai? Kenapa Mama mau titipin aku sama Nenek?"

Daniel tertawa, suaranya beradu nyaring dengan suara hujan. "Sayang, kamu jelasin," titahnya pada sang istri.

"Sayang, Mama sama Papa gak mau cerai," Jasmine mengusap air mata Alya yang sudah berjatuhan. "Terus kenapa tadi Mama sama Papa bertengkar dan bilang kalian mau cerai dan mau nitipin aku ke rumah Nenek? Itu cuma konten, sayang. Mama sama Papa lagi bikin video konten."

"Kamu tahu kan video tutorial masak sama konten mancing Papa, viewers-nya lagi nurun. Jadi Mama sama Papa bikin konten drama deh biar viewers-nya naik lagi," jelas Jasmine.

"Hah, terus ini siapa?" Alya melirik pada lelaki berpakaian serba hitam.

"Oh, ini Mas Anton, security baru di komplek kita. Dia lagi bisulan, makanya pakai slayer," sahut Daniel.

"Maaf, aku salah paham," Alya menunduk, suaranya lirih. Nampak jika gadis itu menyesal karena buru-buru menyimpulkan tanpa mencari tahu terlebih dahulu, membiarkan emosinya mendahului logika.

"nggak apa-apa Sayang, "Tapi jangan diulangi lagi ya, Mama khawatir kamu keluar malam-malam apalagi hujan begini," ucap Jasmine.

"Bapak juga minta maaf ya, Neng. Tadi Bapak nakut-nakutin Neng, habisnya Bapak kasihan sama Mama sama Papa Neng, mereka berdua cemas banget sampai rela hujan-hujanan ke pos security cuma buat minta bantuan Bapak supaya ikut bantu nyari Eneng," ungkap Pak Anton.
Kolong jembatan itu pun menjadi saksi kesalahpahaman yang akhirnya terungkap.

"nggak apa-apa, Pak Anton. Alya juga salah; harusnya Alya cari tahu dulu kebenarannya. Bukan main pergi gitu aja dari rumah, apalagi ini malam. Untung aja yang tadi ngikutin Alya. Pak Anton, apa jadinya kalau yang tadi ngikutin Alya beneran orang jahat?" Alia bergidik ngeri, tak sanggup membayangkan hal buruk yang bisa saja menimpanya akibat tindakan nekatnya, karena lebih mendahulukan emosi daripada logika.
Tamat.
Marisda elsawati, bandung, Selasa 28 Januari 2025. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

amanah di ujung maut

jejakmu dalam karya