misteri hilangnya siswa-siswi
Bangunan sekolah seperti buku tua yang menyimpan banyak cerita; mulai dari cerita percintaan siswa-siswinya, keseruan persahabatan, hingga sejarah dari bangunan itu sendiri. Dan sejarah itu tak jarang menjadi menarik bagi sebagian murid, terlebih lagi jika di sekolah mereka terjadi hal-hal ganjil.
Sekolah Bima Cempaka, contohnya; sudah hampir setahun belakangan ini selalu ada saja siswa dan siswi yang hilang secara tiba-tiba di sekolah itu.
Pihak keluarga yang terpukul dan tidak terima atas hilangnya anak mereka, banyak yang sudah melaporkan ke polisi, hingga sekolah Bima Cempaka sering didatangi pihak kepolisian, baik untuk investigasi maupun penyelidikan.
Namun, nihil; tak ada jejak apa pun yang ditemukan untuk menjawab misteri hilangnya para korban.
Mala, seorang siswi yang beranjak naik ke kelas 11, selalu mengamati kejadian hilangnya para siswa dan siswi.
Ia begitu tertarik dengan kasus ini; lebih tepatnya, empati yang menuntunnya untuk mencari tahu jawaban dari misteri sekolahnya.
Ya, Mala—gadis pendiam dan suka menyendiri—memang memiliki ketertarikan yang berbeda.
Jika anak seumurannya lebih suka bermain bersama teman-teman, ke pusat perbelanjaan dan lainnya, Mala justru lebih tertarik membongkar kasus tersebut dan mencari jawaban.
Pernah ia mencari buku tentang sejarah sekolah itu di perpustakaan, tetapi sayang, Mala tidak menemukan petunjuk apa pun di sana.
Tetapi, gadis itu tak berhenti.
Suatu ketika, ia mendapat kesempatan untuk membantu guru membereskan lemari dokumen yang ada di ruangan kantor.
Aktivitas itulah yang mempertemukan Mala dengan sebuah buku tua yang berjudul, Korbankan 100 nyawa untuk kekayaan yang tidak habis selama tujuh turunan dan kematian yang diperpanjang sampai turunan yang ketujuh.
“Mala, nanti kalau sudah selesai di bagian itu, kamu bantu beresin yang sebelah sini, ya,” ucap Purwanto, seorang guru IPS yang terkenal galak dan tidak pernah berbasa-basi apalagi bercanda.
Mala terkejut.
Ia menjawab dengan tergagap, “I-iya, Pak.”
Mala menoleh, memperhatikan keadaan sekitar.
Beberapa guru sibuk merapikan ruangan yang baru selesai direnovasi itu.
Mala tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ia memasukkan buku tua ke dalam tasnya, kemudian membereskan semuanya dengan tergesa-gesa, hingga Mala tak sengaja menabrak Handi, seorang guru fisika; sosok yang dikenal baik, ramah, suka mengayomi siswa-siswinya dengan wejangan, dan tak jarang juga mentraktir mereka, hingga banyak siswa dan siswi yang dekat dengan Handi.
“Maaf, Pak, saya nggak sengaja,” ujar Mala.
Ia membantu Pak Handi memungut barang-barangnya yang terjatuh di lantai.
“Ya, nggak papa kok,” ucap Handi.
Namun, fokus Mala justru tertuju pada sebuah kunci dengan ujung yang membentuk daun.
Kunci itu terlihat aneh.
Baru pertama kali Mala melihat bentuk kunci dengan ujung seperti daun.
“Ini kunci lemari saya. Maklum, lemari tua, jadi bentuknya agak kuno,” Pak Handi mengambil kunci berbentuk daun yang ada di genggaman Mala.
Sejak mendapatkan buku tua itu, misteri hilangnya para siswa dan siswi di Sekolah Bima Cempaka mulai menemukan titik terang, karena rupanya di buku itu tertulis ada sebuah bangunan di belakang sekolah, paling ujung sebelah timur, yang bisa membuat seseorang mendapatkan kekayaan dan umur panjang, hanya dengan menyuruh seorang siswa atau siswi masuk ke sana.
Maka, setiap siswa dan siswi yang sudah masuk ke dalam ruangan itu tidak akan kembali lagi; ia akan menjadi tumbal.
Hilangnya nyawa akan menambahkan kekayaan bagi seseorang yang memegang kunci daun dan melakukan ritual; bukan hanya itu, umurnya pun diperpanjang seperti yang dijanjikan dalam buku tua.
Mala dilema. Ia ingin mengusut kasus ini hingga akhir, tetapi ia juga takut.
Bagaimana jika dirinya yang hilang dan tidak bisa kembali lagi?
Namun, empati Mala telah membawanya melangkah jauh.
Ia nekat mendatangi ruangan itu, yang kini sudah beralih fungsi menjadi gudang terbengkalai.
Mala mencoba membuka pintu.
Namun, pintu terkunci.
Ia frustrasi.
Ia kembali membaca buku tua di perpustakaan.
Ternyata, di buku itu tertulis jika pintu itu hanya bisa dibuka dengan kunci yang ujungnya berbentuk daun.
Mala frustasi dalam lamunannya.
Ia teringat kunci berbentuk daun yang dimiliki oleh Pak Handi.
Pikiran Mala berkecamuk.
Apakah Pak Handi yang menumbalkan siswa-siswi selama ini?
Bagaimana bisa guru yang terkenal baik itu melakukan hal sekeji ini?
Mala tak ingin terlalu larut dalam pikirannya.
Ia mencuri-curi kesempatan untuk mengambil kunci itu di laci meja Pak Handi saat ditugaskan membawa buku LKS ke dalam kantor.
Di ruangan itu sangat sepi; hanya ada Mala dan Pak Handi saja.
Saat Pak Handi tengah mengambil air minum pada dispenser, Mala buru-buru mengambil kunci daun dari dalam laci.
“Mala, kamu lagi ngapain?” tegur Pak Handi.
Raut wajahnya yang biasa terlihat ramah, kini terlihat tegang, sama sekali tak seperti biasanya.
“Eh, Pak, tadi Mala nggak sengaja kejeduk meja,” jawab Mala, menghindari kecurigaan Pak Handi.
Di sore yang mencekam, seusai ekskul, Mala menyambangi ruangan terbengkalai itu.
Ia membuka kunci menggunakan kunci daun, dan pintu terbuka.
“Astaghfirullahaladzim!” pekik Mala nyaring.
Ia melihat banyak kerangka manusia berserakan.
Jumlahnya mungkin puluhan.
Tiba-tiba sebuah pusara berwarna hitam muncul dari atap ruangan.
Pusara itu terus berputar, membentuk siluet makhluk hitam tinggi dan besar.
“Jadi ini persembahan untukku,” ucap sosok itu.
Terdengar mengerikan.
Mala mundur beberapa langkah ke belakang, ingin melarikan diri, namun pintu tiba-tiba terkunci.
Ia berteriak sekencang-kencangnya, tetapi seakan tak ada siapa pun yang mendengar suaranya.
“Tolong…,” raung Mala sekuat tenaga.
“Jangan takut… ini tidak akan menyakitkan,” ucap sosok itu dengan tawa bengis.
Ia mendekat ke arah Mala.
Namun, tiba-tiba gumpalan asap putih keluar dari liontin yang dipakai Mala.
Tiga harimau putih tiba-tiba muncul di depan Mala, seakan memagarinya dan menjadi tameng bagi Mala yang ketakutan setengah mati.
Ketika harimau itu menyerang sosok hitam tinggi besar di hadapan mereka, pertarungan antara dua makhluk yang Mala tidak mengerti mahluk apa tidak bisa terelakkan.
Tetapi yang jelas pertarungan itu sama sengitnya.
Mereka sama-sama kuat, hingga akhirnya kabut berwarna abu-abu meledak, menyelimuti mereka.
Mala ketakutan.
Sosok hitam tinggi besar itu kini sudah menghilang.
Hanya tersisa tiga harimau putih yang kini berbalik menghadap Mala.
Gadis itu tetap ketakutan.
Ia tentu saja mengkhawatirkan keselamatannya yang saat ini ada di ujung tanduk.
Ketiga harimau itu berposisi seperti duduk, dan tiba-tiba berubah menjadi tiga orang.
Di tengah adalah seorang laki-laki muda, dan di kanan kirinya adalah seorang wanita muda memakai pakaian serba putih.
“Jangan takut, Mala. Kami adalah khodammu, khodam dari leluhurmu. Kamu sudah aman. Pergilah dari sini dan lanjutkan tugasmu… kami tahu… bukankah kamu sedang berusaha menyelesaikan sesuatu?” ucap seorang pemuda.
Kemudian ketiga sosok itu menghilang, meninggalkan cahaya putih yang kembali masuk ke dalam liontin Mala.
Mala buru-buru keluar dari ruangan itu.
Ia melaporkan temuannya pada pihak kepolisian, hingga akhirnya sekolah Bima Cempaka kembali didatangi polisi untuk digeledah dalam kasus ini.
Pak Handi berhasil diringkus polisi.
Ia terbukti telah menyabotase CCTV, hingga kejahatannya selama ini tidak diketahui.
Atas tindakannya, Pak Handi dihukum dan harus mendekam di penjara.
Peristiwa yang menggemparkan seluruh sekolah Bima Cempaka itu akhirnya membuat pihak sekolah sepakat untuk merubuhkan ruangan terbengkalai yang rupanya adalah ruangan terkutuk.
Tamat.
Marisda elsawati, bandung: saptu 24-05-2025.
Komentar
Posting Komentar
Hai guys! Gimana pengalaman membaca kalian? Yuk, sharing di kolom komentar dengan bahasa yang membangun yaa. Masukkan saran hingga dukungan dari kalian; membantu aku menghasilkan tulisan lebih baik lagi.