kebangkitan boneka amamako
Deru mesin mobil yang bising berhenti di depan bangunan Museum Yume no Shiro di Tokyo. Para pelajar menengah pertama berbondong-bondong menuruni bus berwarna merah yang mengantarkan mereka. Seorang guru bernama Oguri meminta semua anak muridnya untuk berbaris tertib memasuki bagian dalam museum, menandakan rekreasi tahunan mereka dimulai.
Ayumi, yang memiliki rambut hitam panjang sepinggang, garis mata sipit, dan bola mata berwarna ungu terang yang cantik, melangkahkan kaki perlahan. Kedua tangannya sedikit memeluk tubuhnya karena seragam hitam putih yang dikenakannya tak mampu menghalau dinginnya pendingin ruangan. Semakin Ayumi memasuki Museum Yume no Shiro, matanya semakin dibuat terpukau oleh boneka-boneka yang dipajang di dalam.
Museum itu memamerkan berbagai macam boneka, mulai dari boneka tradisional, rakyat, boneka bangsawan, bahkan boneka modern pun ada. Detail halus pada setiap boneka, serta pakaian dan aksesoris yang menempel, membuat setiap pasang mata yang melihatnya tertarik untuk melihat lebih dekat lagi.
Di antara banyaknya boneka, ada satu boneka yang mencuri perhatian Ayumi: boneka yang mengenakan kimono berwarna biru muda dengan corak bunga sakura berwarna merah muda. Rambut boneka itu dijepit tinggi lengkap dengan jepit emasnya yang berkilauan. Namun, bukan itu yang mencuri perhatian, melainkan mata boneka itu yang berwarna ungu cerah, persis seperti dirinya. Boneka ini cantik sekali! "amaMako," tepat setelah Ayumi membaca tulisan kanji dengan nama boneka itu—Ayumi dibuat terkejut karena mata indah boneka itu berkedip. Hah!
Ayumi! Hei! Ada apa?" tanya Rayan, yang tak sengaja mendengar teriakan Ayumi.
Ayumi menutup mulutnya dengan tangan. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ayumi menatap boneka Ama Mako dan Rayan secara bergantian. "Tidak… tadi itu ada serangga. Jadi aku berteriak. Bohongnya terpaksa. Karena jika Ayumi mengatakan bahwa ia melihat boneka Ama Mako berkedip, belum tentu Rayan percaya. Bahkan, bisa saja teman sekelasnya itu menganggapnya gila.
"Oh… sebaiknya kita melapor pada petugas kebersihan nanti," ucap Rayan.
Ayumi mengangguk. "Iya, aku pikir baiknya begitu." Melihat Ayumi yang tadi menatap boneka Ama Mako, Rayan pun jadi penasaran dan melihat boneka itu dari dekat. Namun, boneka itu tidak berkedip seperti yang tadi dilihat Ayumi. "Hei, mata boneka ini mirip denganmu," ucap Rayan, yang langsung membuat Ayumi mengiyakan. "Iya, kau benar."
Tiba-tiba, Rayan memegangi kepalanya, seperti merasakan pusing mendadak. Rayan lantas mengajak Ayumi berjalan menjauh dari rak boneka, di mana boneka amamako terpajang rapi.
"Ayumi, liburan nanti apakah kau mau ikut denganku ke Sizuwoka? Perkebunan jeruk pamanku berbuah banyak dan akan panen liburan nanti."
"Eh, aku tidak bisa. Liburan nanti aku akan ke bioskop bersama Mizura. Benarkan, Mizura?" Ayumi menyikut lengan Mizura yang berdiri di sampingnya sembari melihat-lihat boneka di dalam lemari kaca. Teman sekelasnya itu mengerutkan dahi, namun Ayumi buru-buru membisikkan, "Tolong katakan saja iya. Aku mohon!"
"Iya, kami sudah berjanji akan pergi ke bioskop," jawab Mizura, berusaha terlihat netral tanpa ekspresi kebohongan.
"Ah, sayang sekali," gumam Rayan.
Tak jauh dari mereka, Osiko mendengar percakapan ketiganya. Gadis itu mengepalkan tangan dengan amarah. Rasa iri kepada Ayumi semakin menggebu karena Ayumi selalu bisa berdekatan dengan Rayan, lelaki yang Osiko sukai. Berbanding dengan dirinya yang selalu diacuhkan oleh Rayan; bahkan lelaki itu tak pernah mau berlama-lama mengobrol dengannya. "Awas kau, Ayumi! Setelah ini kau tidak akan bisa lagi tersenyum seperti itu! Perempuan centil sepertimu memang harus diberi pelajaran!" batin Osiko, penuh rencana licik.
Udara malam menusuk tulang. Di luar, cahaya bulan menyatu dengan pekatnya malam. Sinarnya seakan membisikkan misteri antara cahaya dan kegelapan. Di kamarnya, Ayumi, yang tengah membaca buku pelajaran, merasa resah. Sedari tadi, seperti ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. "Wuuus!" Ayumi menoleh, matanya menelisik mencari bayangan hitam yang tadi terlihat di ujung matanya. "Hah! Siapa di sana? Nunu, jangan ganggu aku belajar!" teriaknya, berharap kucing putihnya yang sedari tadi mengganggunya. Namun, ketika Ayumi menoleh ke tempat tidur Nunu, kucing putihnya yang selalu mengenakan kalung pita merah muda itu tengah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di ranjang empuknya. Jika bukan Nunu, lalu siapa?
Ayumi memegang lehernya, merasakan hawa kamar yang semakin membuatnya merinding; tidak seperti biasanya. Namun, Ayumi masih mencoba berpikir positif: mungkin ia kelelahan. Gadis itu pun memutuskan untuk tidur. Saat Ayumi hendak mematikan lampu kamar, bayangan itu kembali melintas di sampingnya. Ayumi menoleh. "Siapa kau?" Hening. Tak ada jawaban. Ia kini merasa seperti orang gila yang berbicara sendiri, padahal jelas-jelas di kamar itu hanya ada dirinya dan Nunu, kucing peliharaannya yang tengah tertidur pulas. Kaki Ayumi bergetar. Tangannya buru-buru memencet saklar lampu, kemudian berlari ke tempat tidur, dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Gadis itu tertidur dalam ketakutan.
Kilauan cahaya putih menyilaukan. Ayumi membuka matanya, namun bukan pemandangan kamarnya yang Ayumi lihat, melainkan sebuah ruangan megah yang didominasi dengan warna merah dan emas. Warna-warna itu menghiasi setiap furnitur di dalamnya. Hordeng-hordeng sutra terbentang menghiasi wajah jendela. Lampu-lampu kristal bergemerlapan. Tangga besar dengan pegangan tangannya yang bertabur hiasan kristal terletak di tengah ruangan, seakan menegaskan pada Ayumi jika dirinya saat ini ada di sebuah istana.
"Aaa!" Teriakan suara seorang wanita diiringi suara pecutan cambuk membuat Ayumi sontak menoleh ke belakang. Tak ada siapapun di sana? Tapi jeritan demi jeritan kembali terdengar. Suaranya begitu menyedihkan, seperti merasakan sakit yang teramat sangat. Mata Ayumi tertuju pada sebuah pintu kayu mahoni dengan ukiran yang sangat indah. Pintu itu berukuran besar dengan warna coklat dan pegangannya yang indah, perpaduan warna emas dan juga kristal. Ayumi sedikit mendorong pintu yang tak tertutup rapat itu. Matanya membulat, tangannya sigap menutupi mulutnya yang hampir berteriak. Ia melihat seorang wanita berambut panjang sepinggang mengenakan kimono berwarna biru dengan mahkota emas di kepalanya sedang dipecut seorang lelaki menggunakan jubah berwarna merah dengan mahkota emas yang cukup besar di atas kepalanya.
"Sebaiknya kau kerjakan semua laporan kerajaan itu, Ama Mako. Dan ingat, saat hari pernikahanku besok bersama Putri Akari, kau harus berpura-pura pada seluruh rakyat jika kau yang meminta aku untuk menikahinya."
"Kau kejam, Tageyama! Bagaimana bisa kau meminta istrimu berpura-pura menghendaki suaminya menikah dengan Putri dari kerajaan lain?" Beet! Cambuk dengan karet tebal itu kembali mendarat di punggung Putri Ama Mako. Sang Putri sampai tersungkur ke tempat tidur, saking kencangnya pecutan yang di layangkan suaminya.
"Hentikan protesanmu itu! Kau tetap harus melakukannya esok, jika tidak, kan kupastikan kau membusuk di penjara, AmaMako!" Raja yang bernama Tageyama itu, berjalan meninggalkan Putri Ama Mako. Ayumi yang melihat sang raja berjalan ke arah pintu, buru-buru bersembunyi di balik sebuah jam seukuran lemari.
Teng, jarum jam yang berada tepat di angka 12 itu mengeluarkan bunyi yang kencang; suara yang dihasilkan sangat kontras dengan desain jam yang klasik dan tinggi. Ayumi terlonjak kaget, ia, bahkan tak sadar berteriak cukup kencang. Tageyama menoleh. Ia melihat ke arah persembunyian Ayumi. Gadis itu, yang menyadari keamanannya dalam bahaya, langsung berlari.
"Siapa kau?" Raja Tageyama berlari mengejar Ayumi.
"Sial, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" teriak Ayumi dalam hati. Ia berlari kencang menelusuri setiap lorong istana yang sepi, karena saat itu adalah tengah malam. Para dayang dan prajurit sebagian besar tengah beristirahat di peraduan masing-masing. Ayumi bersembunyi di balik pajangan batu berwarna biru.
"Siapa di sana?" Suara sang raja terdengar semakin mendekat. Ayumi menutup mulutnya. Jantungnya berdebar kencang.
"Tageyama, ikutlah denganku. Ada yang harus kita bahas." Sang penasehat kerajaan menahan langkah Raja Tageyama. "Sebentar, tunggu sebentar. Sepertinya tadi aku melihat seseorang berlari ke sini." Raja Tageyama kembali melangkah, semakin dekat ke arah pajangan batu tempat Ayumi bersembunyi.
"Sudahlah, tageyama, apa yang ingin aku bahas jauh lebih penting dari apa yang kau lihat. Mungkin itu hanya seorang dayang." Akhirnya, Raja Tageyama mengikuti sang penasehat kerajaan berjalan ke ruangan khusus. Membuat Ayumi menghembuskan nafas lega.
"Huh, syukurlah! Hampir saja."
"Putri tadi mengapa wajahnya mirip sekali dengan boneka Ama Mako?" gumam Ayumi. Iya, teringat perlakuan Raja Tageyama kepada sang Putri, Ayumi jadi khawatir dengan keadaan sang Putri. Ia berjalan kembali ke kamar di mana Putri Ama Mako berada. Ayumi mengintip di antara celah pintu yang sedikit terbuka. Putri Ama Mako terlihat sedang menangis terisak di pinggir ranjang.
"Mengapa kau begitu tega kepadaku, Tageyama? Aku masih sanggup jika harus mengerjakan semua tugas yang seharusnya menjadi kewajibanmu sebagai raja, membiarkanmu mendapatkan pujian atas hasil yang sama sekali tak engkau lakukan. Tapi pernikahan itu, aku sama sekali tak bisa menerimanya."
Sang Putri meremas kuat kimono sutra yang dikenakannya. Kemudian, ia menarik laci meja rias. Ia mengambil sebuah kotak kayu dan mengeluarkan botol dengan serbuk hitam berkilauan di dalamnya. Perlahan, jemari sang Putri memutar tutup botol. suuuhhs ! Asap berwarna hitam membubung ke udara, membentuk bayangan abstrak yang tidak jelas. Ayumi bahkan tidak mengerti itu bayangan makhluk apa.
"Kau telah memanggil bayangan kutukan, Putri. Bersiaplah untuk menukar nyawamu dengan suatu kutukan!" Bayangan hitam itu tertawa menang. "Aku tidak peduli, itu yang aku inginkan. berlari dari penderitaan ini, dan kembali bangkit 100 tahun kemudian untuk membalaskan rasa sakitku. dan membebaskan setiap perempuan tersakiti dari ketidakberdayaan seorang perusak hubungan.
Sang Putri lantas menukar nyawanya dengan sebuah kutukan. Dia mengutuk dirinya sendiri menjadi sebuah boneka yang akan bangkit 100 tahun kemudian untuk membalaskan rasa sakit hatinya.
"Hahaha!" Bayangan hitam itu tertawa puas. Ia berputar-putar seperti gulungan angin. Perlahan tubuh Putri Ama Mako diselimuti bayangan hitam berkilauan , dan dalam sekejap, Putri Ama Mako berubah menjadi boneka Ama Mako. Ayumi sontak berteriak melihat kejadian itu. Bayangan hitam menoleh ke arahnya dan...
"Kakak ayo bangun, kau mau tidur hingga kapan? Cepat bangun! Aku akan kena marah dengan Ibu jika tidak berhasil membangunkanmu."
Ayumi memposisikan dirinya duduk dan bersandar pada tempat tidur. Ia melihat adiknya, Imade, berjalan keluar dari kamarnya.
"Ternyata itu semua hanya mimpi," gumam Ayumi ia mengusap keringat yang bercucuran di dahinya.
Ayumi berjalan tergesa-gesa memasuki kelas. Jam pelajaran dimulai masih setengah jam lagi, namun mimpi buruknya semalam membuat Ayumi berangkat lebih telat dari waktu piketnya.
Di dalam ruang kelas, Osiko terkejut mendapati boneka Ama Mako di tasnya. Padahal saat di museum kemarin, Osiko sudah memastikan menaruh boneka itu di tas Ayumi agar Ayumi dituduh mencuri dan mendapatkan citra yang buruk dari teman-teman sekolah. "Boneka ini bagaimana bisa dia ada di sini? Seharusnya kan dia ada di tas Ayumi?" Tangan Osiko bergetar memegang boneka Ama Mako. Mata boneka itu yang semula berwarna ungu cerah berubah menjadi warna merah. Boneka itu melesat terbang, kemudian menukik dan menggigit leher Osiko.
"Arrg!" Osiko berteriak sekencang-kencangnya, meminta tolong, namun seperti dipisahkan dari dimensi tempatnya berada. Hingga tak ada satupun orang yang mendengar suaranya. Boneka Ama Mako terus menghisap energinya di saat itu.
Ayumi memasuki ruangan. Dia terkejut melihat Osiko yang sedang merintih kesakitan dengan boneka Ama Mako yang menggigit lehernya. Ayumi menarik boneka Ama Mako, tetapi boneka itu menancap kuat. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan terjungkal bersama boneka Ama Mako yang berhasil lepas dari leher Osiko.
"Kau! Mengapa kau menghalangiku? Tidakkah kau tahu dia sama seperti Putri Akari, perempuan yang tidak bisa berbahagia melihat kebahagiaan perempuan lain? Dia hanya perempuan perusak!" Boneka Ama Mako melayang di udara. "Siapapun kau, dengar ini! Osiko adalah temanku dan aku tak akan membiarkan kau melukainya!" Ayumi menunjuk pada boneka Ama Mako dalam posisi yang masih terduduk di lantai, sedangkan Osiko mundur dan meringkuk di sudut kelas dengan tubuh bergetar. Ia lemas karena sebagian energinya telah dihisap.
"Dulu aku juga sama sepertimu, tidak akan membiarkan orang-orang di sekitarku terluka. Sebelum akhirnya orang yang aku lindungi justru memberikan luka untukku. Dan aku tidak ingin itu terjadi lagi pada perempuan lain. Jika kau tak ingin aku bantu, maka jangan ganggu aku!"
Boneka Ama Mako mengeluarkan kabut hitam berkilauan yang menjurus kepada Ayumi. Gadis itu memejamkan mata. Ia berteriak, tetapi kilauan cahaya berwarna ungu menyilaukan matanya. Ayumi membuka mata dan melihat ada bola kristal berwarna ungu cerah yang cantik dengan sayap berwarna putih berada tepat di depannya, bagaikan tameng yang melindungi Ayumi dari serangan boneka Ama Mako.
"Apa itu?" Ayumi heran. Entah apa yang melindunginya dan itu bola apa.
"Jangan takut, Ayumi. Itu adalah bola kristal-ku yang sekarang menjadi milikmu." Sebuah Suara menggema di ruangan itu.
"Siapa kau?" Siluet kucing putih yang begitu dikenali Ayumi tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Nunu?" Ayumi terheran melihat kucing peliharaannya tiba-tiba ada di hadapannya. "Ya, aku Nunu, kucing peliharaanmu. Tapi aku bukanlah kucing biasa. Aku adalah seorang penyihir yang bereinkarnasi menjadi kucing untuk menebus kesalahanku di masa lalu. Dan bola kristal itu dulunya milikku, tapi sekarang menjadi milikmu setelah Kau mengadopsiku di penangkaran hewan."
"Mustahil!" Ayumi berusaha menyangkal. Semua ini terlalu seperti cerita anime baginya.
"Sudahlah, Ayumi, tak ada waktu untuk memikirkan semuanya. Hentikan boneka Ama Mako!"
"Tiada satupun yang bisa menghentikanku!" Boneka Ama Mako kembali melesat terbang, berusaha menggigit leher Ayumi, hendak menghisap energi gadis itu.
Lonceng angin. Rayan, yang baru memasuki kelas, melihat kegaduhan dari boneka Ama Mako. Rayan kemudian mengeluarkan banyak lonceng angin dari telapak tangannya. Lonceng itu berbunyi sangat nyaring, memekakkan telinga. Cengkraman boneka Ama Mako di leher Ayumi terlepas, seraya dengan boneka Ama Mako yang berguling-guling di lantai. Kedua tangannya menutupi telinganya, tak sanggup mendengarkan suara lonceng angin yang begitu nyaring. Ayumi menatap Rayan dengan tak percaya. Bagaimana bisa teman sekelasnya itu memiliki kekuatan yang seperti itu?
"Ayumi, cepat hapuskan mantra kutukan yang ada pada kaki boneka itu!" teriak Nunu.
"Ba, bagaimana caranya?"
"Fokuskan pikiranmu. Keluarkan bola kristal itu. Pikirkan saja agar mantra itu hilang dari sana," ujar Nunu.
Ayumi menegakkan posisi duduknya. Pikirannya terfokus pada mantra di kaki boneka. Sebuah bola kristal berwarna ungu cerah keluar dari dalam tubuh Ayumi. Bola kristal itu bergemerlapan dan mengeluarkan cahaya berwarna ungu muda yang menjurus ke kaki boneka.
"Tidak!" Teriakan boneka Ama Mako memekik kencang. Sebuah kabut asap berwarna hitam berkilauan terhisap masuk ke dalam bola kristal, dan akhirnya, boneka itu jatuh tergeletak di lantai. Kondisinya kini sudah seperti sedia kala, yakni boneka yang cantik.
Rayan mengambil boneka itu, melihat sudah tak ada lagi mantra yang tertulis di kakinya. "Kutukannya sudah hilang. Dia tak akan bangkit lagi. Sekarang dia hanyalah boneka biasa," ucap Nunu. Kemudian kucing itu pun menghilang disaat yang bersamaan.
Petugas museum bersama salah seorang guru menghampiri kelas mereka karena dari CCTV terlihat jika salah satu siswa di sekolah tersebut telah mencuri boneka Ama Mako. Berdasarkan bukti rekaman CCTV, Osiko akhirnya mendapat hukuman atas perbuatan tak terpuji yang ia lakukan. Ia dihukum mencabuti rumput di lapangan sekolah yang luas. Ayumi dan Rayan menatap Osiko dari kejauhan.
Dari obrolannya bersama Rayan, akhirnya Ayumi mengetahui jika Rayan memiliki kekuatan magis dari nenek moyangnya dan itu tidak bisa ditolak.
Tamat
Tamat.
Marisda elsawati, bandung: 24-02-2025
Komentar
Posting Komentar
Hai guys! Gimana pengalaman membaca kalian? Yuk, sharing di kolom komentar dengan bahasa yang membangun yaa. Masukkan saran hingga dukungan dari kalian; membantu aku menghasilkan tulisan lebih baik lagi.